Puluhan
kilometer di ufuk timur. Di mana matahari menyapamu lebih cepat. Seruan adzan
subuh membangunkanmu lebih pagi. Dan laju waktu berputar lebih cepat
di tempatmu. Kurang lebih dua menit. Untuk setiap hal, segalanya menghampirimu
lebih cepat dibandingkan aku, di tempatku. Solo-Jogja, memberikan ruang puluhan
kilometer dan jeda dua menit untuk setiap halnya bagi kita berdua.
Sedikit
keraguan ketika menyebut ini sebagai sebuah hubungan jarak jauh. Jogja-Solo,
bagi mereka pejuang jarak jauh sejati, jarak di antara kita tak ubahnya butiran
debu di Bimasakti. Begitu kecil hingga tak kasat mata. Tapi tetap saja, bagi
kita yang sedang dihanyutkan oleh dunia, Jogja-Solo bagaikan Merkurius-Venus.
Jauh, teramat jauh.
Di
malam-malam sebelum pejam, aku bertanya pada diriku “Mampukah aku jauh darimu? Mampukah
aku melawan jarak? Mampukah aku bertahan?”. Berkali-kali hingga aku lelap. Bersamamu
aku harus membayar mahal untuk setiap rindu. Untuk setiap jumpa yang kita susun
di tengah padatnya kesibukan.
Kamu
yang tertawa renyah di setiap pagi. Menjelang hari-hari yang kita tunggu setiap
seminggu sekali. Hari di mana kita saling menjumpai. Mendekati hari yang
dinantikan, kamu semakin sering menelponku. Sekedar mendengar suara bawelku
yang berkali lipat di hari-hari menjelang perjumpaan. Kamu tahu, rinduku ini
berada pada RPM tertinggi menjelang saat-saat dan setelah kita berjumpa?
Aku
sungguh menikmati saat perjumpaan kita. Di pagi hari yang dingin, semilir angin
menemaniku membelah kota. Lempuyangan, gerbang di kotaku bagi perjumpaan kita.
Menjadi saksi bagi rindu yang terkumpul sedikit demi sedikit. Aku suka
menghirup udara di tempat ini. Asap-asap dari lokomotif yang menguar ke
angkasa. Seolah ingin berbagi tentang rindu yang lekas bertemu dan tangis yang pecah seiring menghilangnya lokomotif pada ular besi di kejauhan.
Sembari
menunggu keretamu, aku menghabiskan banyak waktu di sudut barat peron. Tidak
terlalu ramai. Aku suka ujung itu. Menikmati hiruk pikuknya kebahagiaan dan
kesedihan dalam sekali waktu. Mataku terus fokus pada setiap kereta yang tiba
dari arah timur. Mencari sosokmu.
Aku
suka perjumpaan kita yang tidaklah mudah. Skenario Tuhan ini mengajarkanku
untuk tak main-main. Ada harga mahal yang harus kita bayar. Hingga rasanya aku
akan benar-benar bodoh kalau saja aku menjalaninya dengan setengah hati.
Tidak
jarang aku yang mengunjungimu. Kala kesibukkan menjadi begitu posesif terhadapmu
sedang rindu sudah tidak mampu lagi berkompromi. Sifat perempuanku memegang
kendali terlalu jauh, mengkhawatirkan banyak hal. “Aku aja yang ke Jogja.
Segera setelah kerjaan selesai. Nggak baik cewek nyepur sendirian!” katamu setiap aku ngotot ingin berkunjung. Hanya
dengan mendengar kata-katamu saja hatiku sudah membaik. Perlahan kekhawatiran
itu menghilang. Itulah hebatnya kamu. Tak perlu selalu ada di sisi untuk dapat
menenangkanku. Merebut hatiku.
Tapi
Sayang, yang kita perlukan itu saling. Aku bukanlah perempuan egois yang enggan
sedikit berusaha. Pun, aku yakin, perjalanan Jogja-Solo tidaklah semenyeramkan
itu. Simpanlah ketakutanmu, biarkan rindu-rindu ini menemui tuannya.
Kamu
tahu, aku selalu menikmati perjalanan menuju kotamu? Berada di atas kereta
membelah kota dan hamparan sawah sejauh mata memandang. Kupu-kupu mulai
berterbangan diiringi oleh suara gendang yang membuatku gugup. Ah, bahkan masih
jauh dari pelukmu saja kupu-kupu sudah mulai terbangun. Cepat katakan, Sayang,
sihir apa yang kamu gunakan?
Sampai
di gerbang kotamu, Purwosari, aku akan langsung di sambut oleh sepasang manik
mata berwarna hitam. Dari mana kamu belajar ilmu cenayang? Cepat sekali menemukanku
di antara lautan manusia.
Sepasang
lengan yang selalu menagkapku, memelukku erat. Aku jatuh cinta berkali pada
pemiliknya. Tatapan mata dan senyuman yang kamu berikan di setiap perjumpaan.
Kamu berhasil Sayang, selamat! Kamu berhasil memperdayaku. Aku menyerah. Aku
terlalu lemah untuk tidak jatuh cinta padamu. Berkali.
Hari
berganti minggu. Minggu berganti bulan. Perjumpaan kita masih berjalan. Dan
selalu, aku kembali jatuh padamu di setiap perjumpaan, berkali. Masih banyak
minggu yang akan kita tunggu. Masih banyak bulan yang akan kita hitung. Masih
banyak perjumpaan yang akan kita nantikan. Aku menyerah, aku memilih berkawan
pada jarak. Karena mencintaimu sepaket dengan jarak adalah pilihanku.
Jumat,
13 Februari 2015
5:00
pm
0 komentar:
Post a Comment