Hai, hallo.. bagaimana aku
harus mengawali suratku ini? Apa kabar? Kuharap kesehatan selalu menjagamu
entah dimanapun kamu berada. Ah iya, jadi, di belahan bumi mana kamu berada
sekarang? Masihkan kamu terdaftar sebagai penghuni planet ini?
Sudah lama sekali bukan
sejak saat itu, saat malam kesenian di dekat rumahku, hampir tujuh tahun kalau
aku tidak salah. Lama, bukan..
Hai, laki-laki ber-jumper merah dengan manik mata tajam dan meneduhkan, masihkah ada sedikit ingatan tentangku di benakmu?
Malam itu, di tengah hiruk-pikuknya orang-orang yang sedang menikmati malam kesenian, aku tak benar-benar dapat membaur dengan suasana. Sesekali aku menguap pertanda bosan. Kunaikkan resleting jaket yang aku pakai hingga leher sekedar mengusir dingin yang perlahan menyusup hingga sumsumku. Tanteku yang saat itu bersamaku tak sedikitpun meninggalkanku, mengingat hari memang kian larut.
Hingga saat aku mulai menyerah
dengan kebosanan aku memutuskan duduk di salah satu kursi yang di sediakan, sementara
Tanteku berdiri tak jauh dari tempatku duduk, menikmati pentas yang semakin
malam semakin meriah saja.
Aku menyandarkan kepalaku
di tumpuan kursi yang kududuki, sesekali pandanganku mengedar, mencoba
menemukan hal yang mungkin dapat menghilangankan kantuk dan bosanku. Lama aku
mengedarkan pandanganku, sampai akhirnya otot mataku terpaksa berakomodasi maksimal. Tatapan itu,
tatapan mata paling tajam sekaligus meneduhkan yang pernah menembus korneaku.
Tatapan mata itu masih
sama tajamnya ketika pemiliknya menyunggingkan senyum kepadaku. Sebuah lesung
pipit tercetak di pipi kirinya. Aku sekuat tenaga berusaha membalas senyuman
itu dengan senyum terbaikku, berharap bukan seringai mengerikan yang tergambar
di wajahku.
Perlahan, pemilik manik
mata tajam itu mendekat ke arahku. Aku merasakan gelayar di seluruh tubuhku.
Kupu-kupu di perutku perlahan menghambur memenuhi rongga perut hingga dada.
Kakiku ringan sekali hingga rasanya aku tak lagi menginjak bumi. Untunglah saat
itu aku terduduk di kursi, karena kalau saja berdiri mungkin aku sudah terjatuh
tak mampu menopang beban tubuhku.
Pemilik manik mata tajam
itu berhenti tepat di sampingku. Senyumnya masih mengembang ketika sorot
matanya kembali mengarahku yang duduk disampingnya. Pemilik manik mata tajam
dan meneduhkan itu adalah kamu, laki-laki ber-jumper merah yang berhasil membangunkan seluruh kupu-kupu di
perutku.
“Adi” katamu, masih dengan
tatapan yang langsung menembus kedua korneaku. Memabukkanku. Butuh waktu lebih
dari satu menit agar aku dapat kembali menguasai kesadaranku. “Marlina” balasku
dengan memasang senyum terbaik yang dapat kulakukan. Kamu pun ikut tersenyum
kemudian mengulurkan tangan mengajakku berjabat.
Dan ketika aku baru saja
akan mengulurkan tangan. Sebuah suara menyeruak “Ayok, Lin, pulang.” Suara
Tanteku yang entah kapan datangnya sudah berada di depanku. Seketika aku
berdiri sambil menjabat tanganmu singkat. Masih kulayangkan senyum terbaikku
sebelum aku melangkahkan kaki mengikuti Tante yang sudah menarik satu tanganku.
Setelah beberapa langkah
aku mendengar kamu memangilku. Dan ketika aku menengok ke belakang, kamu
tersenyum. Manis sekali. Dan sekali lagi, manik matamu menembus korneaku.
Menerbangkanku.
Ah, wahai laki-laki ber-jumper merah, tidakkah pertemuan kita
itu terlalu singkat? Hari-hari setelah pertemuan itu aku masih sering
membayangkanku, bahkan sekali dua kali kamu mampir dalam lelapku. Aku masih
ingat betul bagaimana manik matamu itu menembus korneaku. Bagaimana manisnya
senyummu dengan sebuah lesung pipit di pipi kiri. Sayangnya pertemuan kita itu
tak berlangsung lama, sehingga hanya namamu saja yang berhasil aku ketahui.
Bagaimanapun, terimakasih atas pertemuan pertama kita waktu itu. Mungkin saja
suatu saat Yang Maha Oke akan mempertemukan kita kembali. Who know’s?
Sincerely
Marlina
0 komentar:
Post a Comment