Untuk yang telah lama
sendiri.
Untuk diriku sendiri.
Hai, Marlina! Tidakkah kamu
lelah terus menyendiri? Bagai puisi fajar, kini senja telah menjelang. Sampai kapan
kamu akan bertahan? Larut dalam kesendirian yang kian tak tertahan.
Marlina, tidakkah kamu
tahu bahwa tak butuh waktu lama lagi untukmu meniup lilin angka 22? Tidakkah kamu
merasa bahwa inilah waktu yang tepat untuk segera memulai suatu hubungan
serius, mengingat kamu adalah seorang perempuan. Terlebih perempuan Jawa,
dimana adat masih dijunjung sebatas kening. Dimana meninggalkan adat berati
keluar dari tatanan masyarakat, dan sanksi sosial siap menerkam tiap saat.
Lihat saja, berapa banyak
teman-temanmu di Sekolah Dasar dulu yang kini telah menggandeng anak-anak
mereka di setiap sore sekedar untuk menikmati Gunung Merapi di pematang sawah,
tak jauh dari rumah. Pun dengan teman-teman SMP-SMA, tak sedikit dari mereka
yang telah menyambangi kediamanmu sekedar untuk menghantarkan kabar penuh suka
cita, pernikahan. Tidakkah kamu ingin membuka mata?
Hei, kamu Marlina yang
sedang dalam pesakitan skripsi. Tidakkah kamu dapat membaca keadaan? Mengenali konspirasi
alam? Di tengah doa yang tiada henti kamu rapalkan untuk kelancaran skripsi dan
wisuda yang disegerakan, tidakkah terbesit olehmu akan sebuah nama di lembar
persembahan nanti? Dan tentang seseorang yang akan menghiasi potret-potret kamu
ketika bertoga kelak, pendamping wisuda, tidakkah kamu pernah tersbesit akan
hal itu? Sebentar saja.
Pun Marlina, bagaimanapun
kamu ini adalah anak gadis di keluarga Jawa. Tak bosankah kamu mendapati Ibumu
yang seolah tak akan pernah bosan menanyakan tentang pendamping kepadamu? Tidakkah
kamu merasa lelah harus menjawab dari a hingga z sekedar membuat beliau tenang
bahwa anak gadisnya ini baik-baik saja? Bahagia dan tiada kurang suatu apapun.
Belum lagi, pandangan
sekitar yang kian hari kian aneh memandang kesendirianmu. Tolonglah, Marlina~
sekali saja, hiraukan mereka. Lihatlah diri kamu sendiri dari sudut pandang
mereka. Sekali saja
Marlina, mungkin kamu
harus mulai terbiasa dengan orang-orang di sekitarmu yang kian hari kian banyak
saja yang berusaha mengenalkanmu dengan teman, kolega atau kenalan mereka. Kamu
harus benar-benar mulai terbiasa dengan itu. Dengan rempongnya mereka yang
berusaha menjejali tempurung kepalamu dengan segala informasi tentang lelaki
yang akan dikenalkan denganmu agar kamu tertarik dan mulai berfikir untuk
menemui mereka.
Marlina, sebahagia apapun
kamu dengan kesendirianmu, mungkin inilah saatnya. Saat dimana lingkungan
sekitar mulai ribet dan rewel atas kesendirianmu padahal kamu
anteng-kalem-baik-baik-saja. Mungkin inilah saatnya. Berdamailah dengan keadaan
ini. Persiapkan dirimu untuk mulai terbiasa dengan itu. Dan tetaplah bahagia
sebagaiman biasanya. Karena hanya kamu sendiri yang sebenar-benarnya tahu
tentang siapa, apa, dan bagaimana dirimu seharusnya. Semangat!
Sencerly,
Sisi alter dirimu.
2 komentar:
Kembali membaca surat yang begitu membuatku takjub :)
terima kasih Fikri, masih perlu banyak belajar lagi kok ini :)
Post a Comment