Powered by Blogger.
RSS

Move on?

Move on, hijrah, pindah.

Hingga pada saat kita menjumpai sebuah akhir –apapun bentuk akhirnya– sekonyong-konyong alam berserta konspirasinya yang menyeluruh tak henti-hentinya melolongkan sebuah suara. Suara yang tertuju pada jiwa-jiwa yang baru saja menyelesaikan satu chapter hidupannya. Suara-suara yang menuntut, padahal begitu sulit dijadikan nyata, bahkan sekedar untuk dapat dimengerti.

 Suara itu, move on.


Suara-suara itu tersimpan rapi dalam saraf-saraf hippocampus, entah sudah berapa terabytes. Didengungkan di seluruh penjuru negeri, sejak detik pertama aku menyelesaikan satu chapter hidupku bersamanya. Seolah debu-debu pun ikut meneriakannya.

Hingga pada saat, lama setelah suara itu tertuju padaku untuk pertama kali. Saat aku mulai bosan mencoba bersahabat dengan semua suara yang terus mengiringi langkahku. Saat aku mulai menyadari bahwa aku telah menutup mata dan telinga terlalu lama. Sedikit otakku yang tidak tercemar oleh suara-suara itu memaksaku untuk berfikir. Move on, apa itu?

Aku bukan penyembah Cupid. Boleh dibilang aku cupu dalam masalah hati. Sehingga, tentu saja move on bukanlah perkara yang aku kuasai secara mumpuni. Satu-satunya hal yang aku ketahui dengan pasti adalah bahwa move on merupakan satu dari sekian fase hidup. Dan karena ini hidup, aku memilihnya untuk menjadi indah. Apapun dan bagaimanapun.

Aku mencoba mengartikan move on sebagai suatu perdamaian. Damai dengan keadaan yang membuat kita harus merelakan bahwa hidup tak akan lagi sama. Akan ada hal-hal yang tetap tinggal di chapter yang telah berakhir, di mana kita tidak akan lagi menemukannya di chapter yang baru. Dan karena itulah, suara itu didengungkan. Secepat kilat menyambar, suara itu memaksa agar kita dapat menemukan sosok pengganti di chapter baru agar seolah hidup tetap sama. Meskipun aku tak setuju dengan pernyataan ini.

Bagiku, bukan cepatnya waktu untuk menemukan sosok pengganti sebagai pertandanya. Karena tak perlulah cepat, sebab akan ada tepat sebagai imbalan atas hebat melewati hujan lebat.

Pada akhirnya aku memilih mengartikan move on sebagai;
Tidak perlu lagi ada rona yang menghias di pipi kala bibir tipisnya berbicara tentang keindahanku.
Tidak perlu lagi sesak karena oksigen yang perlahan lenyap sebagai akibat dirinya yang menjulang tepat di hadapanku.
Tidak perlu lagi ada gelisah yang membuncah menyekat dada ketika kabar darinya yang tak kunjung aku dapati.
Tidak perlu lagi tarikan urat di sekujur tubuh ketika perdebatan kecil memaksaku tengkar dengannya.
Tidak perlu lagi pedih dan perih yang menyayat ketika indah senyumnya tercetak untuk seseorang yang bukan aku.
 

Mustahil rasanya mematikan sebuah perasaan yang sempat tumbuh. Masih ingat sedikit tentang fisika? Energi itu kekal. Dan perasaan adalah sebuah energi. Jadi janganlah sesumbar tentang rasa yang telah kamu matikan. Kita hanya belajar untuk berdamai, bernegosiasi bahwa hidup harus tetap berjalan sekalipun tak lagi diisi oleh seseorang yang telah peri.

Tidak perlulah terburu-buru. Sebab kamu bukan buruan. Berjalan dan belajarlah perlahan. Tidak lupa istirahatlah sebentar, karena hati juga membutuhkan waktunya. Sekedar untuk berkaca pada chapter yang telah usai. Kelak, ketika kamu berhasil belajar dan memenangkan negoisasimu, maka hari itu akan datang. Hari di mana segala hal yang berhubungan dengannya tidak lagi menjadi prioritas dan mengusik segenap jiwa ragamu. Pada hari itulah kamu berhasil melewati apa yang mereka dengung-dengungkan sebagai move on.


Maka, cobalah untuk berdamai. Seberapa cepat kamu mampu menemukan yang baru hanyalah bonus disaat rasa damai telah memenuhi hatimu, seluruh.


Sleman.
Rabu, 4 Maret 2015.
5:10 pm.
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment