Move on, hijrah, pindah.
Hingga pada saat kita menjumpai sebuah
akhir –apapun bentuk akhirnya– sekonyong-konyong alam berserta konspirasinya
yang menyeluruh tak henti-hentinya melolongkan sebuah suara. Suara yang tertuju
pada jiwa-jiwa yang baru saja menyelesaikan satu chapter hidupannya. Suara-suara
yang menuntut, padahal begitu sulit dijadikan nyata, bahkan sekedar untuk dapat
dimengerti.
Suara itu, move on.
Suara-suara itu tersimpan rapi dalam
saraf-saraf hippocampus, entah sudah berapa terabytes. Didengungkan di seluruh penjuru
negeri, sejak detik pertama aku menyelesaikan satu chapter hidupku bersamanya.
Seolah debu-debu pun ikut meneriakannya.
Hingga pada saat, lama setelah suara
itu tertuju padaku untuk pertama kali. Saat aku mulai bosan mencoba bersahabat
dengan semua suara yang terus mengiringi langkahku. Saat aku mulai menyadari
bahwa aku telah menutup mata dan telinga terlalu lama. Sedikit otakku yang tidak
tercemar oleh suara-suara itu memaksaku untuk berfikir. Move on, apa itu?
Aku bukan penyembah Cupid. Boleh
dibilang aku cupu dalam masalah hati. Sehingga, tentu saja move on bukanlah
perkara yang aku kuasai secara mumpuni. Satu-satunya hal yang aku ketahui
dengan pasti adalah bahwa move on merupakan satu dari sekian fase hidup. Dan
karena ini hidup, aku memilihnya untuk menjadi indah. Apapun dan bagaimanapun.
Aku mencoba mengartikan move on sebagai
suatu perdamaian. Damai dengan keadaan yang membuat kita harus merelakan bahwa
hidup tak akan lagi sama. Akan ada hal-hal yang tetap tinggal di chapter yang
telah berakhir, di mana kita tidak akan lagi menemukannya di chapter yang baru.
Dan karena itulah, suara itu didengungkan. Secepat kilat menyambar, suara itu
memaksa agar kita dapat menemukan sosok pengganti di chapter baru agar seolah
hidup tetap sama. Meskipun aku tak setuju dengan pernyataan ini.
Bagiku, bukan cepatnya waktu untuk menemukan sosok pengganti sebagai pertandanya. Karena tak perlulah cepat, sebab akan ada tepat sebagai imbalan atas hebat melewati hujan lebat.
Pada akhirnya aku memilih mengartikan
move on sebagai;
Tidak perlu lagi ada rona yang menghias
di pipi kala bibir tipisnya berbicara tentang keindahanku.
Tidak perlu lagi sesak karena oksigen
yang perlahan lenyap sebagai akibat dirinya yang menjulang tepat di hadapanku.
Tidak perlu lagi ada gelisah yang
membuncah menyekat dada ketika kabar darinya yang tak kunjung aku dapati.
Tidak perlu lagi tarikan urat di
sekujur tubuh ketika perdebatan kecil memaksaku tengkar dengannya.
Tidak perlu lagi pedih dan perih yang
menyayat ketika indah senyumnya tercetak untuk seseorang yang bukan aku.
Mustahil rasanya mematikan sebuah perasaan yang sempat tumbuh. Masih ingat sedikit tentang fisika? Energi itu kekal. Dan perasaan adalah sebuah energi. Jadi janganlah sesumbar tentang rasa yang telah kamu matikan. Kita hanya belajar untuk berdamai, bernegosiasi bahwa hidup harus tetap berjalan sekalipun tak lagi diisi oleh seseorang yang telah peri.
Tidak perlulah terburu-buru. Sebab kamu
bukan buruan. Berjalan dan belajarlah perlahan. Tidak lupa istirahatlah
sebentar, karena hati juga membutuhkan waktunya. Sekedar untuk berkaca pada
chapter yang telah usai. Kelak, ketika kamu berhasil belajar dan memenangkan
negoisasimu, maka hari itu akan datang. Hari di mana segala hal yang
berhubungan dengannya tidak lagi menjadi prioritas dan mengusik segenap jiwa ragamu.
Pada hari itulah kamu berhasil melewati apa yang mereka dengung-dengungkan
sebagai move on.
Maka, cobalah untuk berdamai. Seberapa
cepat kamu mampu menemukan yang baru hanyalah bonus disaat rasa damai telah
memenuhi hatimu, seluruh.
Sleman.
Rabu, 4 Maret 2015.
5:10 pm.
0 komentar:
Post a Comment